15 Orang Meninggal Akibat Banjir Sulsel

 


SULSEL - Sedikitnya 15 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya diungsikan akibat banjir dan longsor yang melanda sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan, pada Jumat (03/05). Pakar kebencanaan menilai pemerintah daerah dan pusat belum menyentuh mitigasi risiko sehingga jatuhnya korban akibat bencana alam bisa dihindari.

Ketua Research Institute of Disaster Engineering Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr. Ardy Arsyad, menilai Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih berfokus pada sektor hilir, yaitu evakuasi.

"Nanti terjadi longsor baru turun ramai-ramai bikin gawat darurat, emergency, evakuasi, rehabilitasi. Tapi ada yang kurang, menurut saya, mitigasi risiko (atau) manajemen resiko. Itu tidak tersentuh dari semua pihak," ungkap Ardy Arsyad.

Menurut Ardy, seharusnya pemerintah melakukan pencegahan, salah satunya pendataan daerah-daerah yang rawan bencana.

"Masalahnya sekarang ada daerah yang rawan longsor tapi terlalu regional, tidak detail. Misalnya dikatakan Toraja Utara itu rawan longsor, tapi masyarakat itu mau tahu di mana saja daerah rawan, kalau bisa tingkat RT dan RW," tegasnya.

Selain harus mempunyai data, Pemprov Sulsel perlu membuat peta risiko, kata Ardy. Apalagi, tambahnya, rata-rata daerah yang risiko bencananya cukup tinggi memiliki kontur tanah yang labil, ditambah adanya pembukaan lahan dan perubahan iklim.

"Jadi usulan saya pemerintah ini harus membuat buku manual atau buku saku bagi masyarakat yang hidup di daerah lereng, dan itu disosialisasikan. Bukunya seputar bagaimana mengolah lahan di daerah lereng-lereng. Kan tidak mungkin disuruh mereka pindah padahal mereka sudah memiliki lahan itu," jelas Ardy.

Berdasarkan data BPBD Sulsel, terdapat 43 orang meninggal dunia akibat bencana alam sepanjang 2024 di Sulawesi Selatan.

Selain akibat banjir di Luwu dan Sidrap pada Mei 2024, puluhan orang tewas akibat tanah longsor di Tana Toraja pada pertengahan April lalu.

Kalau bicara mitigasi, semua unsur ikut terlibat

Sementara itu Kepala BPBD Sulsel, Amson Padolo, mengatakan mitigasi risiko seharusnya tidak hanya ditujukan ke BPBD tapi juga ke berbagai instansi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak Balai Sungai.

"Itu kan kerusakan lingkungan bukan di [ranah] BPBD tetapi ada di kementerian terkait, seperti di lingkungan hidup kehutanan. Kalau banjir itu kaitannya dengan balai sungai. Jadi kalau bicara mitigasi semua unsur ikut terlibat," ujar Amson Padolo.

Kata Amson, pihaknya sudah menyampaikan soal persoalan mitigasi bencana ini ke Menteri Koordinator PMK agar semua instansi terkait digerakkan.

"Hampir beberapa provinsi juga seperti begini, jadi kita berharap ada kesatuan yang dikoordinir oleh bapak menko agar melibatkan semua unit-unit dalam hal penanganan mitigasi," sambung Amson.

Sebelumnya, setelah bencana tanah longsor terjadi di Tana Toraja, pertengahan April lalu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan bahwa semua peralatan untuk deteksi dini bencana tanah longsor - mulai dari indikasi kawasan rawan hingga peringatan cuaca - sudah difasilitasi bagi pemerintah daerah. Sehingga, seharusnya bencana yang menelan jiwa bisa dihindari.

“Jadi penanggulangan bencana ini, ujung tombaknya pemerintah daerah. Sekarang informasi apa lagi yang diperlukan? Peta daerah sudah ada, peta risikonya sudah ada. Terus sekarang, prakiraan cuaca BMKG alatnya sudah ada di situ.

“Teknologi praktisnya untuk melihat gejala alam sudah kami ajarkan. Proses belajar ini juga harus kita dorong ke pemerintah daerah,” tegas Abdul.(BBC News Indonesia)


Post a Comment

Previous Post Next Post